“Katanya malam ini akan ada hujan meteor Perseid”
“Oiya?”
“Kata berita yang kubaca sebelum kemari”
“Karena itu kita disini?”
.
.
.
Samudera awan sore itu mulai pudar. Senja yang begitu jingga merajahi padang rumput yang hijau dan luas - alasan kenapa tempat itu disebut sabana. Perempuan hujan, masih berdiri disana, dengan baju merah muda, kali ini dengan celana cargo dan sepatu gunung - menatap mega yang membuatnya merasakan sesuatu yang dia sebut rindu. Sesekali menengok ke belakang dan mendapati Merapi berdiri gagah disana. Jauh tapi begitu dekat. Dan ketika matanya tertutup sembari menghirup senyawa di sekelilingnya, ada wangi yang tak biasa. Bersumber dari sosok tinggi di sampingnya. Lelaki hujan, masih berdiri disana, dengan kaus hitam dan kemeja kotak – kotak yang lengannya digulung hingga siku, kali ini berwarna biru sedang menutup mata menirukan perempuan di sebelahnya.
..
.
“Kau menirukanku?” kata perempuan hujan
“Tidak” balas lelaki hujan lalu menjulurkan lidahnya
“Katanya malam ini akan ada hujan meteor Perseid”
“Oiya?”
“Kata berita yang kubaca sebelum kemari”
.
.
.
“Karena itu aku disini, I love this place. Above 3000 meters, no signal, no boss, the place where I met you for the second time”, perempuan itu mulai mengigau sambil tetap menutup mata – menghirup wangi sabana Merbabu
“Kemudian kita mengopi sampai pagi. Bercerita tentang hujan sore itu, dan pada cangkir yang setengah kosong I said that it would be nice if we came to this place once more time, and we do it now” lelaki itu tersenyum
..
.
“Ya, meskipun...”
“Meskipun?”
“Forget it!”
.
.
.
Perempuan hujan kembali menutup matanya, kali kedua dan tetap mempesona. Keindahan seperti itu selalu meminta bayaran yang setimpal. Jalur yang cukup sulit dan melelahkan. Tapi semua sebanding. Sengaja membawa peralatan dan logistik lalu menegakkan tenda di area sabana. Karena hari itu adalah surga. Bagi penjinak ketinggian dan penikmat malam.
.
.
.
“Tak pernah seindah Merbabu. Karena disini ada sabana. Dan kamu”, lelaki itu tersenyum meringis
“Sajakmu akan selalu mental padaku”
“Percaya! You do it better – you always do”
“Thats the reason you love me?”
“Have I ever love you?”
“OK, forget it!”
.
.
.
Laki-laki hujan hanya tersenyum melihat perempuan yang berdiri di sebelahnya cemberut. Hal yang mereka sama-sama tahu, tak perlu masuk dalam agenda wajib percakapan. Tak ada permainan, tak ada drama. Tentu saja, mereka sudah sama-sama dewasa. Bahkan membicarakan IHSG yang cenderung turun belakangan, atau reshuffle kabinet jauh lebih seru.
.
..
.
Malam yang jatuh dengan wangi seduhan kopi khas berbaur dengan aroma malam. Jaket polar dan sarung tangan menjadi benda wajib yang menempel di badan. Kelip lampu di lembah Merapi berbaur dengan hamparan bintang. Semesta sedang berbaik hati. Satu-satunya tenda yang bercokol disana. Hanya ada perempuan hujan, dan laki-laki yang berbaring sambil mendelik menyipitkan matanya melihat bintang. Minusnya naik di angka satu seperempat lebih besar dari tahun sebelumnya.
.
.
.
Hening
.
.
.
Untuk beberapa saat, mereka merasa tak perlu memecahkannya. Pemandangan di depan mata mereka sudah menyihir sedari tadi. Perempuan dan Laki-laki hujan, tapi mereka bersyukur air langit tidak jatuh malam ini. Sejenak waktu berbaring di hamparan rumput sambil menanti meteor yang terbakar memasuki atmosfer adalah sempurna. Dan hujan pasti akan membuatnya bebeda. Keindangan adalah kombinasi waktu dan tempat yang tepat.
.
.
.
“Kopimu sudah habis?”, Perempuan hujan duduk dan menengok makhluk di sampingnya yang masih berbaring sambil memejamkan mata.
“Sudah dari tadi. Kau kan tidak minum kopi”
“Seteguk tidak akan membuatku mati, aku ngantuk, tapi masih ingin menunggu meteor. Kau tidak mau lihat?”
“Meteorku ada disini, kemarin dia trekking dengan ganasnya melewati Suwanting – napasnya tidak pernah habis”
“Berarti aku sudah mati terbakar lapisan atmosfer bumi”
“Kalau kau mati, aku akan mengantarmu ke surga”
“Itu hak prerogatif Tuhan”
.
.
.
.
Udara di sabana semakin dingin. Dia duduk dan memeluk lututnya. Lelaki hujan tak bergeming. Hanya diam sambil melihat Merapi di kejauhan. Perempuan itu, menolak kembali ke tenda sebelum mendapati bintang jatuh. Lelaki itu, hanya bisa mengamini – sudah khatam dengan bagaimana keras kepalanya orang di sebelahnya ketika punya kemauan.
..
.
“Memangnya kau mau minta apa jika melihat meteor?”
“Aku ingin merelakanmu.”
.
.
.
Hening
.
.
.
“Jadi itu keinginanmu?”
“Keinginan semesta”
.
.
.
Mereka diam
.
.
.
Lelaki hujan hanya tersenyum kecut dan membuang muka. Ada sebulir air yang menetes perlahan dari sudut matanya. Perempuan hujan menatap pemandangan itu dengan nanar. Pipinya sudah basah sedari tadi.
.
.
.
“Kau masih menyimpan pisau pemberianku?”, lelaki hujan mengusap matanya
“Tentu saja”
“Pakai saja itu, kalau setelah menikah nanti, dia macam-macam padamu”
“Dia tidak akan berani. Dia di pos 3 sekarang, bahkan mengizinkanku disini. Aku akan bersama orang baik”
“Kau tidak tahu lelaki. Bawa itu juga setiap kau mendaki. Di setiap tanjakan dan jurang, Anggap saja aku nanti disana”, lelaki hujan, beberapa tetes air kembali merembes dari matanya, seperti gelas yang terisi air terus menerus kemudian tumpah.
.
.
.
.
.
Perempuan hujan hanya diam. Semua kalimatnya tercekat di tenggorokan. Yang keluar hanya air mata hangat. Dia telah berjuang, tapi ini waktunya merelakan. Dan saat ia memejamkan mata, pandora itu terbuka, seperti potongan – potongan film yang terpampang kemudian bergantian dengan cepat. Lelaki berpayung dan hujan, cangkir kopi yang setengah kosong, janji pada fajar di puncak gunung, sabana hijau, dan pisau lipat dengan darah yang mengering. “Polisi menemukan ini, di kantung baju bersama tubuh putera ibu saat evakuasi. Ibu yakin ini untuk kamu.” Perempuan hujan, dengan air mata yang tak bisa tertahan, mencium tangan perempuan baya itu yang pasti tidak akan pernah melupakan sebagian kehidupnya, dengan darah dan luka terhimpit badan mobil yang sudah tak karuan bentuknya.
.
.
.
.
.
“Terima kasih sudah menjagaku”
“Bahkan perempuan sekuat dirimu perlu itu. Kau harus hidup lama, menikmati matahari pagi dan senja, mendaki gunung dan menyelami samudera. Dan jangan pernah lupa untuk bahagia. Aku akan meminta Tuhan mengizinkanku menunggumu di surga – kalau bukan surganya, kebun nya juga boleh, aku akan memasang tenda disana”, Lelaki hujan mengusap pipi basah perempuan di depannya. Perempuan itu masih menangis, tapi kali ini sambil tersenyum. “Te amo”
.
.
.
.
.
“I knew”, jawab perempuan hujan
.
.
.
.
.
Angin yang begitu dingin menyusup ke wajah Perempuan hujan. Bersama senyawa yang membawa laki-laki hujan, tubuhnya pudar seperti asap seduhan kopi dengan wangi bunga lily. Tubuhnya dingin, hanya keningnya yang sebentar tadi hangat.
.
.
.
.
.
Lelaki berkacamata dengan wajah cemasnya, berdiri mematung sambil bersedekap. Melihat jalur ke area sabana yang kosong. Hampir dua jam dia disana. Sunrise sudah lenyap beberapa waktu lalu. Pemandangan yang membuatnya lega hanyalah sosok perempuan dengan carrier 60 liter yang membuatnya nampak tenggelam sedang berjalan turun ke arahnya. Perempuan itu tersenyum meski dengan mata yang sembab. Langkahnya berhenti tiga meter dari lelaki berkacamata, dia tertawa.
.
..
.
“Kok ketawa?”
“Saya melihat tunangan saya berevolusi jadi panda”, mendengar tawa renyah perempuan hujan, lelaki itu urung naik darah.
“Sudah seharusnya tidak ada laki-laki yang bisa tidur kalau tahu calon isterinya pacaran sama arwah orang mati”
“Cemburu ya?”
“Tidak!”
“Itu mukanya minta di setrika”
“Ini namanya tegang mau nikahin anak orang.”
“Situ mau nikahin siapa emang?”
..
.
Hening
.
.
.
“Perempuan hujan. Meski saya bukan Lelaki hujan”
.
.
.
.
.
.
Kukusan, 14 Agustus 2016
Pada hujan rintik yang syahdu
PS:
Sebut saja sekuel dari cerita Payung Hujan yang di publish lebih dari dua tahun yang lalu. Sekuel yang lebih tepat disebut ending cerita. Tidak ada dan tidak akan ada cerita tentang pertemuan dari tokoh utama Perempuan hujan dan Lelaki hujan. Terinspirasi dari beberapa fakta dibumbui banyak fiksi dan imajinasi di sana sini. I don’t really know the best title for this one actually.
Untuk Laki-laki hujan, semoga selalu bahagia dan sukses dengan cita-citanya. Semoga kita bisa bertemu lagi sambil mengopi. Anda sih yang mengopi, saya lebih suka green tea. Mungkin kita akan bertukar puisi, atau cerita-cerita perjalanan menakjubkan, atau bertukar ilmu kanuragan #loh
Mengapa settingnya merbabu? Saya jatuh cinta sebelum dan setelah mengunjungi tempat itu. Meskipun hampir nangis pas perjalanan turun, tapi jika diajak kesana lagi saya tidak akan menolak. Asal cocok sama waktu dan kantong :p
merbabu selalu membuat rindu teh. rindu untuk kembali meski sekarang sudah sangat berbeda.
ReplyDeleteIya :)
DeleteAnyway, "teh"... anak KARDUS?
ha... ha.. alumni teh iim. saya sudah lulus dari universitas KARDUS. sama seperti teh iim juga sudah alumni kan?
DeleteJadi ini teh saha ? hahaha yang masup univ kardus pan banyak.
Deleteanak bandung teh iim. jadi kapan teh iim mau ke merbabu lagi. ayo angkat si Aleksander Agung nya. itung-itung bisa belajar gratis dari suhu penikmat ketinggian macam teh iim lah.
DeleteWaduuuww... yang provide kaos kardus yak ini? hehehe... Tahun ini sih belum ada rencana ke merbabu lagi om
Delete