Tetangga.....
Pagi
ini aku masih mengantuk, padahal matahari sudah mulai tinggi. Jika ini jam
delapan, berarti untuk orang kebanyakan sudah masuk waktu siang. Tapi aku
sangat senang, karena hari ini hari minggu. Aku tidak perlu berangkat pagi
bersepeda ke sekolah dan bisa main seharian. Kurasa aku akan bermain dengan
kucing di halaman depan.
Aku
bersyukur Ibuku mengatur taman rumah kami sedemikian sehingga aku bisa bermain.
Halaman depan rumah kami ada teras bercat putih yang salah satu sisinya dibuat
teralis kayu. Tempat tumbuhan sulur berwarna hijau merambat, jika musim semi
ada bunga warna ungu berbentuk lonceng yang mekar.
Di
sudut halaman depan ada kolam ikan koi. Mereka gemuk-gemuk, sama seperti aku. Setiap
pagi dan sore aku yang memberi mereka makan, sebelum dan sepulang dari sekolah
yang berjarak dua kilo meter dari rumahku.
Dan
ayah, membuat ayunan yang digantung di salah satu ranting besar pohon di pojok
kiri rumah kami. Aku sering bermain disana. Kadang menggoda kucing piaraan
keluarga kami di halaman rumput hijau sambil bertelanjang kaki.
Dan
satu lagi yang membuat hari minggu pagiku berwarna seperti pelangi. Tetangga
sebelah punya anak laki – laki. Akhirnya aku punya teman, atau begitulah
kurasa. Karena aku selalu mengira aku satu – satunya anak berusia delapan tahun
di daerah rumahku. Teman – teman sekolahku rumahnya jauh, walau kadang – kadang
mereka berkunjung dan bermin ke rumahkul.
Namanya
Dira. Aku tahu dari teman sekolahku. Dira berkacamata, entah minus berapa. Anak
kecil jarang yang berkacamata. Makannya pertama kulihat dia aneh. Rumahku dan Dira
hanya dibatasi pagar kayu setinggi jidatku. Kadang aku mengintip dia sedang
bermain layangan di halaman rumahnya yang luas, atau membuat api unggun. Aku
berkenalan dengan Dira dari balik pagar kayu.
Aku
suka tersenyum sendiri melihat Dira berkacamata yang lucu dan nampak pintar. Dia
satu – satunya tetangga yang seumuran denganku. Kadang aku berdiri berjinjit
hanya untuk melihat dia sedang bermain apa minggu ini. Dira tahu ketika
kepalaku menyundul – nyundul di balik pagar kayu. Tapi dia hanya melihat
sekilas. Tidak pernah mengundangku. Aku beberapa kali berteriak memanggilnya
mengajaknya memberi makan ikan koi, tapi dia menolak. Katanya dia lebih suka
bermain layang – layang. Baiklah tidak apa – apa. Dira baik, apalagi pada teman
– temanku.
Suatu
hari, Anita, Dimas, Rian dan Lia teman sekolahku main ke rumahku. Seperti
biasa, kami akan memberi makan ikan koi. Rencananya kami akan menanam bunga.
Ibu guru menyuruh kami untuk menanam bunga memotretnya setiap minggu lalu
membuat cerita tentang pertumbuhan bunganya. Semua setuju bunganya ditanam di
rumahku. Anita dan lainnya sudah membawa bunga masing – masing. Dengan
bersepeda mereka datang hari minggu sore.
Aku
mengambil sekop di gudang dan kami mulai menggali tanah. Tak sengaja aku
melihat ada kepala nongol di balik pagar kayu, rambut cepak kaku lalu kaca
mata. Pasti Dira, kupikir dia mau main sama kita. Aku berdiri sambil masih
membawa sekop, lalu menyapa tetanggaku.
Halo,
Dira... Mau main sama kami? Nanam bunga? , itu pertama kalinya aku menyapa
Dira. Anak tetangga sebelah yang lucu dan berkacamata.
Kurasa
tidak,,, dira masih melongok melihat apa yang kami lakukan.
Anita
menyapa Dira, disusul Dimas, Rian dan Lia. “Halo Dira... mau nanam bunga sama
kami?”
“Tidak.
Kalian mau main rumah pohon?”
Anita
dan yang lainnya diam lalu melihat satu sama lain, kami tersenyum dan
mengiyakan. Bersorak kegirangan. Membayangkan betapa serunya bermain di rumah
pohon. Aku dan yang lainnya berjalan ke gerbang lalu belok kiri beberapa meter.
Di pintu pagar masuk, Dira sudah menunggu.
“Dira
aku ikut ya...”, kata Anita
“Ayok
kesini, silakan masuk”. Jawab Dira sumringah
“Dira
aku juga ya” disusul Lia dan Dimas.
Satu
persatu mereka masuk ke halaman rumah Dira yang luas, yang rumputnya berwarna
hijau dan terawat. Yang didalamnya ada rumah pohon dan jungkat – jungkit. Aku
giliran terakhir. Seperti yang diajarkan ibuku, aku meminta izin dulu.
“Dira,
aku ikut main rumah pohon ya...”
Dira
tersenyum, “Maaf ya, tapi rumah pohonnya cuma muat lima orang, kapan – kapan
kamu kuajak main”. Dira menutup gerbngnya perlahan. Aku melihat punggung teman
– temanku. Aku kembali ke rumah. Di taman lima lubang tanah tanggung dan bunga.
Kupikir aku saja yang menanamnya. Aku jongkok lalu mengambil sekop.
Pekerjaan
yang sudah dimulai harus diselesaikan, katanya. Aku menggali tanah hingga cukup
untuk ditanam bunga. Aku bisa mendengar tawa Dira, Dimas, Anita, Lia dan Rian
bermain di halaman sebelah, dan pujian mereka tentang rumah pohon milik Dira.
Aku
masih melanjutkan menanam kelima bunga. Aku senang bisa menanam bunga. Tapi
kupikir aku juga sedih. Karena aku menangis. Mungkin karena aku tidak bisa
bermain dengan teman – temanku, mungkin juga karena Dira tidak mengizinkanku
ikut bermain dengannya. Tapi tidak apa – apa. Tadi Dira bilang kapan – kapan
akan mengajakku bermain.
Beberapa
minggu halaman rumah Dira selalu ramai dengan tawa teman – temanku. Aku?
Memberi makan ikan koi. Lalu bermain dengan kucing. Sambil melongok melihat di
balik pagar kayu. Penasaran apa yang mereka lakukan hingga mereka terdengar
sangat senang. Aku tersenyum, melihat mereka membuat api unggun lalu membakar
marshmallow, atau bermain layang – layang. Aku tersenyum melihat Dira tertawa,
selama ini aku tidak pernah melihatnya tertawa. Tidak jadi soal, Dira bilang
kapan – kapan aku akan diajak main di rumah pohonnya.
Tapi
ternyata, kapan – kapan itu tidak pernah ada.
.
.
Waktu
berganti, makhluk hidup bertumbuh, begitu juga dengan aku, dan Dira. Tapi dalam
beberapa hal, ada saja yang tidak berubah. Aku masih belum memiliki kesempatan
untuk melihat isi rumah pohonnya. Atau mungkin sesederhana Dira tidak memberiku
kesempatan untuk melihatnya. Dalam
berjalannya waktu, aku menyadari beberapa hal. Ada hal yang tak bisa
kupaksakan. Aku sudah berhenti bertanya pada Dira apakah aku boleh berkunjung
melihat rumah pohonnya. Meski aku kadang – kadang masih menyempatkan diri, menengok
halaman rumah sebelah dan bersyukur jika Dira kebetulan lewat disana.
Aku
mengenalnya, aku punya nomor selular nya, tapi
bukan berarti kami dekat, seperti yang ternyata kuharapkan dari semenjak
kepalaku lebih pendek dari pagar yang membatasi rumah kami, hingga pagarnya
tinggal setinggi ulu hatiku. Aku tidak pernah menjadi bagian cerita kehidupan
Dira. Aku hanya tetangga di balik pagar kayu. Tidak pernah dan tidak akan
pernah lebih dari itu.
Aku
bertumbuh bersama bunga, angin, hujan, tanah dan pegunungan. Aku bertumbuh
dengan hasrat yang menggebu pada ketinggian. Bersama malam – malam penuh
bintang. Aku dewasa bersama kesendirian, musuh yang kini menjadi kawan. Satu –
satunya yang paling setia dalam kehidupanku.
Sangat
kebetulan, aku dan Dira sama – sama menjadi penikmat senja dan pagi bersama
bunga edelweis. Kami tumbuh menjadi pendaki. Tapi tak pernah naik bersama –
sama. Sungguh luar biasa. Pada seperempat abad usia Dira, aku mendaki gunung
yang paling dia kehendaki. Demi
mengucapkan “selamat ulang tahun” di puncak tertinggi. Bersama selembar kertas
dan sebuah ucapan dan doa tulus sepenuh hati. Dira dengan sepenuh hati pula
tidak mengucapkan satu kata pun. “Terima kasih” nya tersimpan rapat di ujung
bibir, namun tak pernah menjelma menjadi suara.
Tak
apa, Dira baik. Dia hanya tidak ingin nampak menawarkan hal yang paling orang
inginkan, ketika dia tidak merasa sanggup untuk memberikannya. Dia baik
sebagaimana seharusnya dia. Dira adalah kepingan – kepingan mawar yang
menghambur pada senja di pinggir jurang, pada kala itu aku hanya melihat
bersama menetesnya air di sudut mata. Kepingan mawar terbang, bersikeras
meraihnya berarti aku telah siap mengantarkan nyawa karena hanya dengan itu,
kepingan mawar akan kembali menyapa, menggenggam tanganku untuk pertama dan
terakhir kalinya, bersama ucapan selamat tinggal dan kata – kata cinta yang
menjadi kebohongan luar biasa.
Di
batas malam, aku menghirup damai wangi samudera. Bersama kepingan mawar yang
tak pernah menjelma menjadi Dira. Aku berbaring melihat rembulan sebelum
menutup mata. Ada yang menemaniku tentu saja, kesendirian yang membunuhku
selamanya.
Comments
Post a Comment