Skip to main content

Catatan Perjalanan - Gunung Guntur yang Hangat (Part 1)



Kaki ini masih linu, lutut juga masih kelu. Tapi daripada aku lupa perjalananku, kutulis catatan ini untukmu. Rencana naik gunung pasca Lembu awal bulan Januari lalu sebenarnya sudah banyak, tapi seperti yang sudah-sudah, berakhir wacana. Mulai dari yang diajak gak jelas maunya apa, sampai agenda-agenda dadakan yang bikin Sindoro harus menunggu. Gak lagi-lagi ngajak kalong insomnia. Pas gak diajak, ngambek. Giliran diajakin gak konfirmasi. #AkuGakBisaDigituin 

Hadiah Kenaikan Tingkat
Prinsip saya adalah, Pantang long weekend tanpa jalan-jalan. Jadi setelah rencana Sindoro/Sumbing gagal, segera melipir nyari alternatif lain sekitaran libur imlek. Nemu satu yang menarik di website BPI. Si empunya hajat bernama Zam yang merencanakan Shared Cost ke Guntur dan Tegal Panjang. Awalnya pas saya hubungi full kuota. Tapi out of the blue hari Selasa pas latihan Aikido di Mayapada, Mas Zam ini ngirim pesan yang katanya masih ada slot untuk gabung. #AkuTerharu, Entah karena lagi latihan habis dibantung, atau emang otaknya emang lemot. Saya langsung iya – kan tanpa pikir panjang.  

Awalnya saya merasa masuk ke grup dimana tidak satupun orangnya saya kenal.  Tapi orangnya baik-baik, sih. Pas lagi ada perbincangan rencana ke Tegal Panjang, ada satu nama yang cukup familiar yang setelah dikonfirmasi ternyata seangkatan di Teknik cuma beda jurusan. Dunia memang sempit. Sialnya, Mr.H ini tahu sejarah saya di teknik dan bikin rusuh di grup dan pas kopi darat dengan membicarakan ‘aib’ jaman kuliah. Hahaha... Kebetulan gak bisa ikut kopdar demi dipingit oleh sensei untuk latihan terakhir ujian ngotorin sabuk. 

Sebelum ujian saya bernadzar, kalau saya lulus, bisa ikut trip long weekend Februari, kalau enggak, gaboleh ngetrip sampai Maret. Untungnya lulus hehehe... Tinggal sisa inisiasi sama senpai Juna atas nama dojo UI. Inisiasi edisi perdana dengan senpai Budhi atas nama dojo Mayapada udah kelar 2 Februari lalu. Tepat latihan pertama sejak ujian di KPK beres. Catatan ujian nya nyusul. Banyak drama dan konflik yang pelik selama ujian, jadi sayang kalau gak masuk blog #tsaaaahhh.

Minggu sebelum naik seperti biasa jadi saat-saat paling rempong. Belanja ini itu, nyiapin ini itu. Dan akhirnya atas nama trip ke Guntur, saya beli celana gunung (lagi). #PadahalAlibiDoang. Jack Wolfskin warna khaki yang tipis nan adem dan diprediksi akan cepat kering. Cocok untuk mengatasi bibir pecah-pecah, panas dalam, dan susah buang air besar. 

Jum’at pagi dengan mata sayu setelah packing dengan terburu-buru, menggendong carrier seberat 12 kg dan naik gojek ke kantor. Di pintu masuk biasanya ada pengecekan tas. Tapi dari jauh melihat bapak satpam saya udah wantu-wanti. “Yang ini jangan di bongkar ya pak. Susah packingnya”. Akhirnya lewat juga. Coba kalau saya bawa benda berbahaya beneran pisau cukur, sapu lidi, dan kemoceng, mungkin gak akan ketahuan juga.

Jum’at yang lumayan padat. Usai kelar kerjaan kantor dan berbekal sandal mushola lantai 11 yang saya pinjam buat dibawa ke Guntur, saya berangkat ke indomaret. #Loh. Iya mau beli saus tiram dulu. Bos nya mau masak sapo tahu katanya. Sebagai yang numpang tenda saya cuma bisa bilang iya. Dari kantor fisik tetiba kurang fit. Migrain dan rasa-rasa masuk angin. Biar gak makin parah saya makan ampela di warung pecel lele depan Mabua HD Pondok Pinang. Heeemmmm... emang laper juga sih. Barulah order gojek lagi ke pool primajasa Ciputat. Awalnya mau nunggu di pengkolan FedEx aja, Cuma saya urungkan mengingat long weekend dan takut malah gak kebagian duduk. 6 jam perjalanan berdiri itu sama sekali gak asik. 

Goes to Garut
Yang rencananya mau ke Garut dari pool Primajasa Ciputat ada tiga orang yang saya tahu dari grup. Seorang bernama Falaq dan satu lagi yang nick name whatsapp nya Kutuyu. Dengan muka bego saya clingak clinguk nyari yang namanya Falaq, walau itu percuma. Saya belum pernah liat mukanya. Akhirnya saya duduk saja sebelah cowo yang nampaknya juga anak naik gunung. Iseng-iseng ngintip HP nya dia lalu saya chat di grup. “Saya sudah sampai pool ya...”
Tetiba dari samping ada yang nyapa, “Mba Iim ya?” 

Kemudian kami berkenalan. Hahaha. Basa basi biar gak garing. Nanya kerja dimana dan pertanyaan – pertanyaan dangkal sebagaimana orang yang baru kenal. Tak berapa lama muncul sosok bongsor si empunya nick name kutuyu yang nama aslinya Yudi. Saya berkenalan lagi dengan yang bersangkutan. Kayanya emang hoki nya saya. Setiap nge trip selalu dipertemukan dengan orang-orang yang menyenangkan. Sempat rencana ke suatu gunung di Jabar juga yang saya cancel karena diindikasi yang bikin trip bocah-bocah muda semi alay.

Secara kondisi fisik kami bertiga mengaku lagi gak terlalu fit. Saya masuk angin, Mas Falaq sudah menenggak sebotol larutan, dan mas Kutuyu mengaku hidungnya mulai mampet. Apapun, trip tetap harus berjalan. Satu bis tujuan Jakarta - Garut banyak orang yang nampaknya juga pada mau naik gunung. Bisa dipastikan satu diantara Papandayan, Cikurai, dan Guntur. Iye lah, di Garut destinasi nya kan itu. 

Sebagai perempuan yang sedang lemah, saya dikasih previllage buat duduk di pinggir dekat jendela biar bisa bobo sandaran. Sekitar setengah jam kami bercakap tentang trip, destinasi wisata, dan anggaran yang membengkak buat jalan-jalan saya mulai tidur lelap. Saking kebiasaan perjalanan jarak jauh sendiri yang sebagian besar dihabiskan buat tidur, ini mau ada temen juga tidur. Sayang tenaga. Dari sinilah saya mulai dicengin sebagai tukang tidur dan pelor sama anak-anak trip Guntur. Yang jelas saya bersyukur karena kami masih dapat tempat duduk saat ada orang-orang yang sedemikian jauh perjalanan harus berdiri. 

Kini saya pun mengantuk, karena baru tadi siang sampai kostan dan baru selesai beberes nyuci baju dan gear naik gunung. Lapar melanda, mau bikin nasi goreng dulu hehehe. 

Saya dibangunkan Mas Yudi ketika hampir sampai Pom Bensin Guntur yang memang biasa dijadikan tempat bagi para pendaki untuk ‘nongkrong’ sebelum ke basecamp dan menjadi ninja hattori yang mendaki gunung lewati lembah. 

Karena tidur pules, saya gelagapan bangun dan segera turun dari bis. Dengan sempoyongan saya mengikuti Mas Falaq ke masjid di pom bensin. Kami bertiga menunggu sisa rombongan dan ketua trip, Mas Zam yang jalan dari Kampung Rambutan. Pas nunggu dua lelaki (Mas Falaq dan Mas Yudi) salat subuh, ada suara memanggil saya dari belakang. Ternyata itu yang disebut – sebut Suhu Zam. Sekilas perawakannya sedang dengan jenggot yang cukup tebal. Sempat saya pasang muka curiga. Hahaha. 


Full Team, Yeah
Total tujuh orang yang akan naik di rombongan ini, rombongan Ciputat plus Mas Zam, Mas Adit, Mas Raka dan Mba Eka. Setelah dua lelaki salat subuh, saya melipir ke masjid, selesai maghrib ibu-ibu di sebelah saya tetiba nanya, dengan ilustrasi percakapan seperti ini. 

Ibu2 : Mba, mau kemana?
Gue: Naik gunung, bu?
Ibu2: Gunung apa?
Gue: Guntur, Bu.
Ibu2: Sama siapa ke gunung nya?
Gue: Sama temen, lagi di luar
Ibu2: Ooo.. mba nya masih SMA ya? Kelas berapa? 

Bertahun-tahun lebih sering dipanggil “Bu” daripada “Mba”. Ini malah dibilang anak SMA. Gak tahu antara seneng karena dianggep muda, apa sedih karena gue segitu pendeknya sampai dibilang anak SMA. 

Sebelum menuju basecamp, kami menyempatkan belanja di Alfa*art sebrang pom bensin untuk beli air dan entros*op. barang yang kedua sangat krusial untuk kelangsungan pencernaan yang bersahabat dengan gunung. Setelah mendapat karma di Gunung Lembu dan harus menahan pup dari puncak sampai turun gunung ditambah sembelit dan akhirnya dosa-dosa saya baru bisa keluar setelah 5 sampai 6 jam perjalanan dari basecamp Gunung Lembu, Purwakarta sampai Kosan. Saya tidak mau mengulangi kesalahan dengan tidak minum obat diare sejak awal. 

Makan murah meriah di warung depan pom bensin juga, kemudian perjalanan 15 menitan ke basecamp dengan angkot yang di carter 12 ribuan per orang. Suhu Zam lah yang jadi jagoan nya tawar menawar. Registrasi dilakukan di tempat Pak RT kemudian registrasi ulang di pos BKKSDM (kalau gak salah) dengan membayar 12 ribu per orang. Tujuannya pendataan dilakukan sebagai asuransi. Yang aneh adalah, kami disuruh membayar di BKKSDM tapi tidak diberikan karcis dengan alasan karcisnya habis. Si petugas lalu menyertakan nama, tanda tangan dan nomor HP dan berjanji untuk memberikan sisa tiket ketika kami turun. Yang nyatanya janji palsu. Karena ketika turun dan melapor, kami tidak mendapatkan tiket yang dijanjikan. Yang kami hawatirkan yang seperti ini bentuk penyalahgunaan wewenang dan keadaan. 

Trekking Dimulai: Jalan Landai dan Batu Cadas
Awal perjalanan menuju Pos Citiis, masih cukup landai. Walau bagaimanapun tetap bikin lelah. Tapi jauh lebih baik karena ada ‘pemanasan’ nya. Tidak seperti Lembu yang dari awal sudah ‘dihantam’ tanjakan lucu. Kami sempat berfoto dengan background Gunung Cikurai yang bentuknya ikonik. Tapi Cuma ber-enam. Si Kutuyu udah jalan duluan. Mas Yudi ini mungkin diibaratkan Ipin-nya geng Papandayan (dan Dejoan). Kalau naik gunung jalannya paling cepet di depan, sampai kadang lupa temennya di belakang udah megap-megap. Bedanya Mas Yudi badannya besar dengan kulit sawo matang, kalau Ipin badannya kecil putih berkacamata dan idaman para ukhti (menurut sumber yang bisa dipercaya).

                                                   Pemandangan, Cikurai yang ikonik


Jalan yang bersahabat akhirnya berakhir di pos Citiis. Trek dengan kemiringan yang lebih mantab dimulai dari lokasi tersebut. Sekitar satu jam, akhirnya kami sampai di pos 1 yang ada penjual bakso dan sungai di dekat pos. Cuci muka di sungai pos 1 sungguh segar, bikin ngantuk. Sambil menunggu Mas Zam makan bakso, Mas Falaq dan Mas Adit sebats, saya melakukan ritual wajib. Bobo. Dari sinilah saya dibilang pelor sama anak-anak trip Guntur. Asal duduk bisa selonjoran, saya bisa merem dan tidur. Udah ketularan Khalida. 

Dari pos 1 trek makin tidak bersahabat. Dimulai dengan tanah menanjak kemudian kami disambut trek bebatuan yang terjal. Tungkai yang pendek dan beban di punggung yang lumayan membuat semakin berat. Berkali kali menghela keringat. Yang awalnya udah gak terlalu cakep makin mblegedu dengan keringat bercampur debu dan ekspresi muka penuh penderitaan. Untuk mengurangi beban lutut (yang sempat divonis robek batalan sendi setahun lalu), saya menyokong badan dengan tangan. Anggap saja setengah panjat tebing. Sampai di pos 2 saya minum doping, selonjoran, dan – merem. Kalau pos 1 ada gubuk dan penjual bakso, Pos 2 bentuknya hanya sebidang tanah bebatuan yang agak datar dan tidak begitu luas. Sekitar sepuluh menit kami istirahat lalu kembali menanjak. 

Jalur dari pos 2 sampai pos 3 masih bebatuan. Harus ekstra hati-hati dan ekstra istigfar. Daripada maki-maki trek yang berat mending dzikir. Belum Cikurai jalur lama via Pemancar, Belum Ciremai via Linggarjati, musti tetep sabar. Menjelang pos 3 yang juga dijadikan camp ground, jalur bebatuan berubah menjadi tanah menanjak. Sudah banyak tenda terpancang. Dan setelah menimbang dan mengingat risiko dan kondisi, akhirnya tenda kami dirikan di camp ground pos 3, berubah dari rencana awal yaitu antara Puncak 1 dan Puncak 2. Kami mengisi tenaga dengan makan melon. Yup. As information, Mas Zam sebagai tetua kelompok menghendaki camping dengan makanan mewah. Jauh dari makan seadanya berupa mie instan dan nugget. Jadilah Raka ditasbihkan sebagai pembawa Melon dan Semangka demi camping yang bersahaja. 



Nakanak Nanjak Bareng Guntur

Seperti biasa, hal pertama yang saya lakukan ketika tenda sudah terpancang adalah nyari semak-semak yang sewaktu-waktu dijadikan tempat penebusan dosa. Akhirnya saya menemukan satu spot di pojokan yang cukup terlindung. 

Tongseng Ayam Di Atas Gunung
Sekitar jam 12, tiga tenda untuk 7 orang sudah berdiri tegak. Mas Zam yang selalu punyainisiatif tinggi dalam hal masak memasak segera menyiapkan bahan bahan untuk masak makan siang dengan menu. TONGSENG AYAM. Benar-benar menu yang extraordinary ketika naik gunung yang biasanya menunya tak jauh-jauh dari tempe kering, mie instan, nugget dan sosis. 
                                                           Mamam tongseng di gunung

Menurut penuturan Mas Falaq, Kalau ikut trip Bang Zam, gak bakal kelaperan dan pasti menu makannya niat abis. Benar saja, saya didaulat ngulek bumbu. Anak-anak sampai menyebut Bang Zam bawa kulkas kalau naik gunung. Ada cooling bag, ulekan plus cobek mini, talenan, parutan sampai Teflon. Benar benar kemping ceria. Meski trek Guntur gak bikin muka ceria, sih. Tugas nyuci peralatan makan diserahkan saya dan Mba Eka. Sorenya saya habiskan dengan bobo-bobo lucu, kan adek lelah, abang. 

 Edisi Masak Tongseng Ayam 



Matahari terbenam hari mulai malam, terdengar burung hantu, suaranya merdu. Gunung Guntur ini nampaknya tipikal gunung yang hangat, meskipun hari malam, namun tidak dingin. Menu makan malam adalah TERONG TERI BALADO dan SAPO TAHU. Niat, kan?. Saya bantu-bantu motongin terong sama ngulek bumbu (again). Yang jadi spesialis nasi adalah Mas Falaq semacam Chemi nya geng Papandayan. Baru agak malam kami bisa makan (iye lah, masak niat di gunung butuh waktu, sama seperti aku menunggu kamu) #tsaaahhh. Rasanya enak. Saya paling ketagihan sama terong teri balado nya. Niat hati sih mau nambah, tapi menimbang dan mengingat kapasitas perut tidak boleh dibikin penuh karena akan menambah dosa yang sewaktu-waktu bisa meronta-ronta minta dikeluarkan dengan kejamnya. 

Lukisan Ilahi
Ketika beberes tenda untuk bobo malam, Mas Adit manggil kami untuk ke luar. Di hadapan kami, pemandangan yang subhanallah. Lansekap dengan langit gelap sedikit berawan, dan kelap kelip parade lampu kota Garut yang memesona. Kabut gelap membentuk bingkai yang membuat pemandangan di bawah Nampak seperti lukisan. 

Ada dua hal yang saya sayangkan malam itu. Pertama, ketika kamera HP tidak punya kapasitas yang cukup untuk menangkap keindahan kota Garut dari ketinggian. Kedua, aku tidak bisa melihat itu semua sama kamu. #baladajomblodiatasgunung
          Awww... Lampu lampu romantis, bintang di bawah langit, kota Garut dari ketinggian

 Melihat parade lampu nun jauh disana, para pendaki tidak mau kalah. Ada saja yang iseng bawa laser yang biasa buat nonton bola dan dibikin mainan. Perang laser pun terjadi antara kubu camp ground di atas dan di bawah. Seru juga sih… tapi karena besok mau summit, kami akhirnya tidur. Ada kewajiban ronda yang digilir untuk para lelaki. Atas alasan kabar kalau di Guntur banyak maling dan babi. Hahaha honestly, saya merasa jadi cewe kalau di atas gunung. Lebih dijagain sama cowo-cowonya. Bahkan kadang kalau mau pipis dijagain juga hahaha. 

(Bukan) Babi, Sekoteng Hangat dan Muncak “Ceria”
Dini hari saya mendengar suara-suara mencurigakan. Hal yang pertama terpikir, babi yang katanya di Guntur gak takut manusia. Suara korek-korek suatu. Saya segera membangunkan Mba Eka yang lelap di sebelah dan mengajak ngintip bareng. Ketika sedikit pintu tenda di buka, Nampaklah sosok – Mas Zam sedang mengorek-ngorek Teflon menyangrai kacang tanah. Duh MasyaAllah. Demi sekoteng di pagi hari. 

Mas Falaq sudah mewanti-wanti kalau mau summit attack dan ngeburu sunrise harus dari jam 3 an. Tapi berhubung kami kemping ceria, terlewatkan aja itu sunrise dari puncak Guntur. Kami malah bikin sekoteng buat sarapan, dan menikmati matahari terbit di kejauhan. Dan tetap indah. Semburat jingga megah di langit antara Cikurai dan Papandayan. Diantara Kamu dan Aku. 

Tak lupa selfie dengan Mas Raka yang memang punya project pribadi bikin video perjalanan dan banyak foto selfie. Ujung-ujungnya saya diminta motret. Hahaha, saying gadget saya gak mumpuni. Next wishlist deh, kamera yang bisa diajak lanjalan dan nyemplung di air. 

Nikmat sekoteng hangat di basecamp Gunung Guntur. Menjadi pengisi perut dan modal summit attack. Benar-benar camping yang luar biasa. Kalau orang lain summit attack jam 3 pagi, kami ke puncak jam 8 pagi. Hahaha Trek menuju puncak memang luar biasa. Didominasi tanah berpasir dengan batuan kecil yang membuat pendaki yang luuput untuk hati-hati akan gampang terperosok. Kemiringan yang ‘lucu’ membuat napas megap-megap Dari pos 3 ke Puncak 1 trek nya ‘botak’ tidak ada pohon-pohon rindang, hanya ilalang yang tumbuh jarang bisa dijadikan pegangan. Mulai naik, kabut putih yang membuat kadar H2O di udara meninggi dan bikin sesek. 

                                               Sekoteng hangat, Photo by Mas Kutuyu

Beysambung yaaaa....... 

Comments

Popular posts from this blog

Review Gear - Deuter Aircontact 50+10 SL

Sekali-kali bikin catatan yang agak berguna bagi dunia persilatan. Demi pelaksanaan hobi jalan-jalan yang lebih nyaman terkendali, akhirnya (mau gak mau) saya musti beli yang namanya carrier. Benda satu ini memang vital banget buat orang-orang yang suka lanjalan utamanya lanjalan menyusuri tanjakan. Berhubung belakangan lagi seneng naik – naik gunung lucu, saya memutuskan untuk beli carrier sendiri. Selama ini carrier modal pinjem temen yang malah seneng carrier nya dipakai. Hahahakkk... #dasarbenalu  Beberapa minggu memilih dan memilah, lihat review sana sini, Udah sampai level browsing toko outdoor yang jualan carrier yang lebih nyaman di kantong juga. Sempat nanya-nanya carrier merk dalam negeri Consina dan Cozmeed demi menyelamatkan dompet dari derita kekeringan. Cukup hati adek yang kering, Bang. #bah Dan hingga ujungnya, pada suatu minggu pilihan saya jatuh pada Deuter Aircontact 50 + 10. Bahahahhaa....  Kalau kata Dimitri, kak iim emang suka random kaya gitu.  M

Catatan Perjalanan - Gunung Guntur yang Hangat (Part 2)

Semangka di Puncak Gunung Guntur Bikin istigfar dan bikin persediaan air mendadak tipis. Untung bawa semangka. Yup kami bawa semangka ke puncak Guntur untuk dinikmati disana. Apalagi kalau bukan atas prakarsa Mas Zam yang level imajinasi terhadap kuliner di gunung sangat liar. Mendaki sekitar satu setengah jam, kami sampai di puncak 1. Pemandangan yang terlihat adalah – kabut. Hahaha iyalah, kalau mau sunrise harus dini hari summitnya. Di puncak 1kami pecah itu semangka. Setengah kami makan. Jalur pos 3 ke puncak satu menurut saya yang paling berat. Lima menitan di puncak 1 kami menuju puncak 2. Jalurnya didahului dengan jalan landa kemudian menanjak lagi. Hahaha. Gak kalah serunya dari nanjak di awal. waktu tempuh sekitar 1 jam ke puncak 2. Disana ada tugu GPS dari ITB, menandakan posisi tertinggi. Sayangnya, vandalism terjadi bahkan seniat itu sampai puncak gunung. Tugu dan batu dicoret-coret. At that point kalau saya liat ada yang nyorat-coret bakal langsung saya koshinange t

Catatan Perjalanan - Pulau Sangiang (Part II)

Badai Pasti Berlalu Usai memasang tenda dan flysheet, dari tampangnya sudah kelihatan kami semua kelelahan. Saya sempat mengambil beberapa foto, lalu mencari pohon teduh buat ngaso yang selanjutnya dialihfungsikan sebagai tempat tidur siang. Ada yang tidur di atas mastras di pasir, ada yang tidur diatas kayu sekitar pohon teduh. Hampir jam 3 saya terbangun dan mencari Galih, anaknya sedang mandi ternyata. Usai mandi dan leha-leha kami berburu sunset walau tidak seperti yang diharapkan. Langitnya cukup gelap dan tidak ada tanda-tanda sunsetnya bakal bagus. Jatohnya main di pantai sambil hunting foto. Main sepuasnya di pasir warna putih yang sangat lembut. Pas dekat tebing tiba-tiba Chemi minta saya duduk di atas karang, dan walaaaa...   jadilah sebuah foto instagramable karya Chemi. Mayan buat dp whatsapp. Ini manfaatnya kalau punya temen jago motret, Makannya kalau nyari trip saya seneng kalau ada cheminya. Hasil fotonya pasti bagus :p Papandayan dan kali ini Sangiang jadi bukti